THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 13 Oktober 2009

Indonesia Butuh Pemetaan Kebencanaan

Rentetan bencana terus melanda Indonesia. Bencana terakhir yang belum lama terjadi adalah gempa bumi berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR) yang meluluhlantakkan Padang dan sejumlah daerah di sekitarnya. Dengan posisinya yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, ditambah lagi adanya 129 gunung api yang aktif, membuat Indonesia memang rawan bencana.

Saat bencana itu terjadi, berbagai kerusakan alam dan infrastruktur pun tak bisa dihindari. Tak jarang, kerusakan infrastruktur itu membuat sejumlah lokasi menjadi terisolasi dari daerah lainnya. Tak hanya itu, bencana pun menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Jika selamat, para korban akan tersebar di tempat-tempat pengungsian. Karena itu, bantuan logistik harus segera disalurkan di tempat-tempat tersebut.

Karena itulah, Dr Ing Fahmi Amhar mendorong dibuatnya pemetaan kebencanaan di Indonesia. Dengan adanya pemetaan kebencanaan, penanganan bencana akan lebih mudah, cepat, dan tepat. Bahkan, jumlah korban jiwa dan kerugian materi juga dapat diminimalisasi.

Selain itu, penegakan building code juga dapat diterapkan. Namun sayang, perhatian pemerintah atau masyarakat mengenai hal tersebut masih rendah. Berikut wawancara wartawan Republika, Lilis Sri Handayani, dengan Dr Ing Fahmi Amhar, yang menjabat sebagai sekretaris Tim Geospasial Tanggap Darurat Bakosurtanal.


Apa yang dimaksud dengan pemetaan kebencanaan?
Pemetaan kebencanaan ada tiga macam, seperti halnya manajemen bencana, yaitu peta mitigasi untuk tahap pencegahan, peta tanggap darurat, serta peta rehabilitasi dan rekonstruksi setelah terjadinya bencana. Meski sama-sama memetakan bencana, peta tanggap darurat dan peta rehabilitasi dan rekonstruksi itu akan berbeda untuk setiap jenis bencana dan kondisi geografis setiap daerah. Jadi, pemetaan untuk bencana gempa bumi, banjir, tsunami, dan bencana lainnya akan berbeda. Begitu pula pemetaan untuk bencana di Aceh, Sumatra Barat, Yogyakarta, atau daerah lainnya juga akan berbeda, tergantung kondisi geografisnya, apakah berbukit atau datar dan sebagainya.

Sejak kapan pemetaan kebencanaan dilakukan di Indonesia?
Untuk peta mitigasi, itu sudah lama. Tapi, untuk peta tanggap darurat, peta rehabilitasi, dan rekonstruksi, baru dimulai sejak bencana tsunami melanda Aceh.

Apa fungsi dari masing-masing peta itu?
Dalam peta mitigasi, kita memetakan kerawanan berbagai bencana di daerah-daerah di Indonesia. Namun, belum semua kerawanan bencana telah dipetakan. Untuk saat ini, peta mitigasi yang paling siap baru sebatas peta mitigasi gunung berapi yang dibuat Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sedangkan, untuk peta mitigasi tsunami, selama ini baru sebatas pilot project.

Berarti, peta mitigasi gempa di Sumatra Barat juga belum ada?
Seluruh pantai barat Sumatra sebenarnya rawan gempa dan itu sudah kita sampaikan lama sekali. Masalahnya, building code-nya yang belum ditegakkan. Biaya penegakan building code memang mahal dan aturannya pun belum ada.

Mengapa peta mitigasi belum dibuat merata untuk seluruh daerah di Indonesia? Bukankah daerah-daerah di Indonesia rawan bencana?
Peta mitigasi itu seharusnya memang ada di seluruh daerah. Tapi, tanggung jawab siapa untuk membuatnya? Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, hanya disebutkan bahwa di daerah harus ada badan penanggulangan bencana daerah. Nah, kewajiban badan itu salah satunya menetapkan dan mengumumkan peta rawan bencana. Tapi, itu pun tidak ada penjelasannya lebih lanjut. Akibatnya, di daerah-daerah ada kebingungan. Jangankan petanya, badannya juga banyak yang belum (dibentuk). Selain itu, anggarannya ada tidak? Kepala daerahnya peduli tidak?

Kemudian, untuk peta tanggap darurat, apa isi dan fungsinya?
Peta tanggap darurat itu berisi gambaran kondisi di lapangan sesaat setelah terjadinya gempa. Peta itu di antaranya menggambarkan titik-titik lokasi yang mengalami kerusakan, baik gedung-gedung maupun infrastruktur lainnya, seperti jalan yang terputus, listrik yang mati, dan lain-lain. Peta itu sangat dibutuhkan untuk membantu penyaluran logistik kepada para korban. Tanpa adanya peta tanggap darurat, akan banyak daerah yang terlewatkan dalam pendistribusian bantuan. Apalagi, banyak relawan yang berasal dari luar daerah yang pastinya tidak tahu kondisi di lokasi bencana. Selain dikirim ke daerah-daerah yang terkena gempa, peta itu juga dapat di-upload pada website Bakosurtanal (www.bakosurtanal.go.id) untuk free-download. Dengan demikian, para pemberi bantuan dari seluruh dunia dapat menggunakan data spasial yang standar dan lebih akurat.

Jadi, peta tanggap darurat dibuat sesaat setelah terjadinya gempa? Bagaimana caranya? Apakah melalui foto udara?
Tidak mungkin kita melakukan foto udara karena itu membutuhkan waktu yang lama. Kalau berbicara tanggap darurat, hitungannya adalah dari hari ke hari, harus cepat. Karena itu, data-data untuk pembuatan peta tanggap darurat kami peroleh dari petugas kami di lapangan. Sebelumnya, petugas kami sudah memiliki peta dasar yang menggambarkan daerah yang terkena bencana. Sesaat setelah terjadinya bencana, mereka tinggal mengisi informasi tanggap darurat ke dalam peta dasar itu. Misalnya, tentang titik lokasi jembatan yang rusak, jalan yang terputus, tempat-tempat pengungsian, dan lain-lain. Dengan membawa alat GPS, petugas kami kemudian menandai lokasi itu dalam peta dan memasukannya ke dalam komputer. Bahkan, sekarang kami sudah bekerja sama dengan teman-teman LSM untuk menggunakan sistem SMS (short message service) serve. Jadi, mereka nanti memotret kondisi di lapangan cukup dengan menggunakan handphone kamera (tanpa GPS), kemudian mengirimkan gambarnya kepada kami.

Untuk kasus gempa bumi di Padang dan sekitarnya, hingga sepekan setelah bencana, masih banyak daerah yang belum mendapat bantuan. Padahal, pihak Bakosurtanal telah membagikan peta kebencanaan di daerah itu. Bagaimana itu terjadi?
Penyebabnya ada tiga. Pertama, peta (dasar)nya tidak mencakup seluruh daerah itu secara perinci karena selama ini peta yang perinci baru ada di perkotaan. Sedangkan, daerah-daerah terpencil memang belum. Kita mau membuat peta yang berkualitas untuk semua daerah secara perinci pun belum bisa. Pasalnya, anggarannya belum cukup. Kita minta anggaran untuk itu juga sulit dikabulkan.
Penyebab kedua, peta yang dikirim ke lokasi bencana memang dalam bentuk digital. Padahal, seharusnya peta cetak offset. Bakosurtanal dulu memang membuat peta cetak offset banyak sekali hingga menumpuk di gudang. Karena itu, beberapa tahun lalu, ada kebijakan peta cetak offset tidak perlu banyak. Cukup dibuat dalam bentuk digital supaya lebih mudah juga untuk di-up date jika ada perubahan. Masalahnya, hal itu menjadi sulit saat ada peristiwa mendadak seperti bencana di Padang. Kita tidak bisa mencetak peta offset dengan cepat. Jadi, kita memang ada masalah teknis dalam hal ini.
Penyebab ketiga, orang-orang di lapangan tidak semuanya bisa membaca peta digital. Banyak relawan di lapangan modalnya hanya semangat, fisik, dan rasa solidaritas. Tapi, modal membaca petanya (apalagi peta digital) belum. Jadi, pas dikasih peta, sering salah baca dan salah menginterpretasikan.

Untuk peta rehabilitasi dan rekonstruksi, isi dan fungsinya apa?
Setelah dua bulan tanggap darurat, kita kirim tim rehabilitasi dan rekonstruksi. Di sana, tim itu akan memetakan berbagai hal secara cepat dan cermat, seperti tempat pengungsian sementara, relokasi permukiman nantinya di mana, dan tanah-tanah yang perlu ditata ulang, terutama untuk daerah yang rata dengan tanah. Satu hal yang juga penting dalam peta rehabilitasi dan rekonstruksi adalah kita harus memetakan toko material bangunan. Hal itu disebabkan pemerintah tidak mungkin membangun semua rumah warga. Banyak juga warga yang membangun kembali rumahnya sendiri seperti yang terjadi di Yogyakarta. Karena itulah, dibutuhkan informasi mengenai lokasi toko material bangunan.

Bagaimana perhatian pemerintah terhadap pemetaan kebencanaan?
Masih kurang. Seharusnya, dalam UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, ada penugasan secara khusus mengenai pemetaan kebencanaan yang diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Kalau sekarang kan tidak jelas siapa yang ditugasi.

Berarti, dalam UU No 24/2007 itu, juga belum diatur masalah building code?
Belum. Selama ini, yang ada baru pada level standar, yaitu aturan dari Departemen Pekerjaan Umum (PU) mengenai persyaratan bangunan yang tahan gempa. Tapi, karena belum ada UU yang mengatur building code, standar itu pun belum bisa ditegakkan. Kalau sekarang ditegakkan dan ketahuan ada gedung yang tidak memenuhi standar itu, terus mau dibagaimanakan? Apa mau dirobohkan dan dibangun ulang? Siapa yang mau menanggungnya? Lha, gedung pemerintah sendiri juga banyak yang harus dibongkar dan dibangun ulang. Dalam masalah ini, memang kita harus bijaksana, terutama untuk bangunan lama yang tidak sesuai building code. Tapi, untuk bangunan pemerintah dan menyangkut kepentingan umum, seperti perkantoran, mal, sekolah, atau rumah ibadah, building code memang harus ditegakkan.

Untuk memperbaiki masalah seputar pemetaan kebencanaan, apa yang seharusnya dilakukan?
Kami berharap, di Bakosurtanal dibentuk pusat pemetaan kebencanaan. Selain itu, pemerintah melalui Bakosurtanal saat ini juga sedang menggodok RUU informasi geospasial yang mengatur masalah tersebut. Jika RUU itu bisa terwujud, antisipasi atau penanganan bencana akan lebih baik.

0 komentar: